Rabu, Februari 12, 2025

5 Berita terbaik

Jangan Lewatkan

Kontekstualisasi Semboyan Ki Hajar Dewantara Terhadap Neomillenial Bangsa

Oleh :Muhammad Amin Siddiq Amirudin

Dalam sebuah musyawarah, saya pernah menutup presentasi cemerlang saya
dengan kutipan yang jauh lebih cemerlang yang tak lagi asing dengan telinga rakyat
nusantara.

“Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mbangun karso, Tut wuri handayani” yang sekilas saya pahami memiliki arti “didepan memberi teladan, ditengah memberi motivasi, dibelakang memberi dorongan” yang oleh karena itu setelah menutup presentasi saya pikir perlu memahaminya lebih jauh.

Masyarakat dan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani Dalam konteks pendidikan hari ini, makna Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani perlu direkonstruksi guna mengetahui bahwa konsep tersebut masih eksis dan aktual dengan kondisi dan situasi hari ini.

Pemerintah menggunakan konsep tersebut sebagai pijakan dan simbol dalam dunia pendidikan. Hal ini karena dinilai sangat sebanding dan ideal bagi siswa, yang seharusnya mendukung dan mendorong pendidikan untuk mencapai kecerdasan, kebaikan, dan kepemimpinan.

Teori rekonstruksi merupakan bangunan teoritik yang diperkenalkan oleh George S Count dan Harold Rugg pada tahun 1930. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makna rekonstruksi ialah

“penggambaran/penyusunan kembali”.

Pada prinsipnya teori ini terbentuk karena ada rasa ingin membangun masyarakat baru, masyarakat pantas dan adil.

Rekonstruksionisme memiliki asumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial mempunyai orientasi ke masa lalu dan sekarang dengan menjadikan pendidikan
sebagai tujuan pembentukan terhadap karakter bangsa yang lebih membangun.

Rekonstruksionisme berupaya menemukan sebuah kesepakatan multielemen mengenai haluan pokok yang kemudian dapat mengatur tata kehidupan manusia.
Oleh karenanya pada teori ini peradaban manusia sangat difokuskan dan dimaksimalkan terhadap pendidikan yang serahim dengan masyarakat.

Teori ini memiliki pengaruh terhadap makna Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun
Karso, Tut Wuri Handayani (Didepan memberi teladan, ditengah memberi motivasi, dibelakang memberi dorongan) ialah pada relevansi dan kemujaraban
akan kondisi dan situasi dalam masalah pendidikan.

Menurut rekonstruksianisme,
sekolah sebagai wadah harus mendominasi dalam mengarahkan dan menunjukkan rute terhadap perubahan dengan melakukan rekonstruksi terhadap tatanan sosial saat ini.

Secara filosofis teori ini terdiri dari dua pandangan: Pertama, masyarakat memerlukan yang namanya sebuah perubahan (change).

Kedua perubahan sosial
tersebut melibatkan segenap perubahan pendidikan serta pembangunan pendidikan
dalam merubah masyarakat.

Menakar Korelatifitas Semboyan Ki Hajar Dewantara Terhadap Kondisi
Pendidikan Saat Ini Ki hajar dewantara kerap mengingatkan bahwa kodrat diri anak selalu
berhubungan dengan kodrat zaman.

Instrumen pembangun kemampuan anak selalu dipengaruhi oleh instrumen pembangun zaman.

Oleh karena itu maka terlahir
kebebasan akses untuk masuk dalam platform yang juga bebas tanpa tersaring.

Platform ini dapat menjadi kotak pandora yang justru menggrogoti nilai-nilai kearifan yang telah terbangun lama. Oleh karena itu, isi dan irama yang disenandungkan oleh ki hajar dewantara adalah konten pengetahuan yang diadopsi sejatinya tidak bertentangan dengan kearifan lokal yang mana ki hajar dewantara mengibaratkan pendidik seperti petani atau tukang kebun dan anak-anak seperti biji.

Apabila biji tersebut disemai ditempat yang subur dengan perawatan maksimal maka biji tersebut akan tumbuh dan berkembang dengan maksimal pula sehingga dapat dipanen secara sempurna.

Bahkan apabila biji tersebut bukan berasal dari biji pilihan akan tetapi disemai ditempat yang subur dengan perawatan maksimal maka tidak heran jika biji tersebut bisa tumbuh dan berkembang dengan maksimal hingga dipanen dengan hasil yang memuaskan.

Namun sebaliknya meskipun berasal dari biji pilihan tetap disemai ditempat yang tandus, tidak disirami maka biji tersebut
akan rusak dan mengalami gagal panen.

Dengan demikian, sekolah diharapkan bisa menjadi lahan yang cakap untuk menyemai biji baru untuk tumbuh dan pendidik bisa memaksimalkan peran untuk
mengukir kader bangsa yang punya kualitas moral dan intelektual.

Mengingat pendidikan saat ini rasanya kurang maksimal, terlihat dengan ketidakmerataan
pembangunan infrastruktur pendidikan kemudian kapasitas pendidik yang masih belum sesuai harapan.

Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-
negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara.

Sedangkan untuk kualitas para guru, kualitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang. Hal ini menjadi salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi
anak.

Dengan melihat beberapa problem diatas maka patutnya untuk menjadi tugas bersama untuk memacu kembali segala variabel terkait dalam proses majunya
pendidikan indonesia. Semuanya perlu dimaksimalkan dan saling memaksimalkan.

*) Penulis adalah Ketua Bidang Pendidikan Dan Kebudayaan Hippmal Kendari, Muhammad Amin Siddiq Amirudin

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini