JAKARTA, SEGMENSULTRA.COM – Pakar kesehatan Prof. Tjandra Yoga Aditama mengingatkan pentingnya pengawasan ketat pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk mencegah kejadian keracunan massal. Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara ini membuka suara menyusul sejumlah kasus Keracunan Luar Biasa (KLB) yang terkait dengan program tersebut.
Peringatan ini disampaikan Tjandra menanggapi temuan Laboratorium Kesehatan Jawa Barat (Labkes Jabar). Sejak Januari hingga September 2025, lab tersebut menerima 163 sampel makanan MBG dari 11 kabupaten/kota yang diduga memicu keracunan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Labkes Jabar, Kepala Labkes Ryan Bayusantika Ristandi mengonfirmasi bahwa 23% sampel dinyatakan positif terkontaminasi. Dua bakteri yang paling banyak ditemukan adalah Salmonella dan Bacillus cereus.
“Salmonella biasa dikaitkan dengan produk protein seperti daging dan telur, sedangkan Bacillus cereus sering kali terkait dengan penyimpanan nasi yang tidak tepat,” jelas Tjandra, yang kini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI. Ryan menambahkan bahwa kebersihan air, peralatan masak, dan higienitas pekerja dapur menjadi faktor krusial yang mempengaruhi keamanan pangan.
Di luar temuan spesifik di Jawa Barat, Tjandra merujuk pada panduan WHO yang menyebutkan setidaknya ada lima kelompok pemicu keracunan makanan yang dapat dideteksi di laboratorium:
- Bakteri: Seperti Salmonella, Campylobacter, E. coli, Listeria, dan Vibrio cholerae.
- Virus: Utamanya Norovirus dan Virus Hepatitis A.
- Parasit: Misalnya cacing trematoda, cacing pita, Cryptosporidium, dan Giardia yang masuk melalui air atau tanah tercemar.
- Prion: Zat protein infeksius seperti penyebab BSE (sapi gila), meski kasusnya jarang.
- Bahan Kimia: Meliputi logam berat (timbal, kadmium), polutan organik persisten (dioksin), serta racun alam seperti aflatoksin pada kacang-kacangan.
Tjandra menegaskan bahwa penjelasan WHO ini bukan untuk menyimpulkan penyebab keracunan pada program MBG, melainkan sebagai bahan kewaspadaan dan pertimbangan dalam pemeriksaan laboratorium lebih lanjut.
“Dengan frekuensi KLB MBG sebanyak 20 kali, berbagai potensi yang disebut WHO ini tentu patut jadi pertimbangan kita,” pungkasnya.(Adm)