Di pinggir kota Makassar, tersembunyi sebuah pondok sederhana yang berdiri di tepi sungai. Pondok itu terlihat biasa saja, dengan dinding kayu dan sebuah balon lampu tua yang menggantung di depannya. Cahayanya remang, nyaris padam, memantul samar di genangan air hujan yang tertinggal. Hujan baru saja berhenti, tapi dinginnya masih terasa menusuk tulang.
Malam di sekitar pondok itu selalu sunyi. Hanya suara jangkrik yang bersahutan dan sesekali kodok dari pinggir sungai yang melengkapi kesendirian. Udara dingin, aroma tanah basah, dan gemericik aliran sungai menciptakan suasana yang terasa asing—sepi, namun akrab dengan luka-luka yang dibawa ke sana.
Pondok itu menjadi tempat persinggahan anak-anak muda. Mereka datang, membawa hati yang patah, harapan, atau mimpi-mimpi yang sudah retak oleh kenyataan.
“Kadang hidup itu seperti sungai ini,” gumam seorang pemuda, suaranya nyaris tenggelam di antara riak air. Matanya kosong, menatap arus yang terus mengalir perlahan. “Kita hanya ikut arus, meski kita tidak tahu ke mana akan berakhir.”
Yang lain hanya terdiam. Beberapa menatap tanah, yang lain mencoba mencari jawaban di kegelapan langit. Di teras kayu yang dingin, mereka duduk bersandar, menggigil, tidak hanya karena udara malam tetapi juga oleh rasa kehilangan yang tak lagi bisa mereka tutupi.
Di tempat itu, mereka berbagi, bukan untuk mendapat solusi, tetapi untuk sekadar merasa didengar. Tidak ada yang menghakimi, tidak ada yang menilai. Di pondok itu, sunyi berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Malam berlalu perlahan, dan pondok itu tetap berdiri di sana, menjadi saksi cerita-cerita yang hanya terucap dalam gelap. Sebuah tempat yang menyimpan cerita yang tak bisa sembuh, tapi setidaknya bisa diterima. Di antara rintik hujan yang tersisa, suara jangkrik, dan lampu redup, mereka menyadari bahwa kadang-kadang, kesunyian adalah satu-satunya teman yang tidak pernah meninggalkan.
Catatan : Flash