BUSEL, SEGMENSULTRA.COM – Perbedaan pendapat antara Pemerintah Kota Baubau dan Roni Muchtar dalam menafsirkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kendari telah menciptakan kebingungan di kalangan masyarakat. Klaim saling bertentangan mengenai interpretasi putusan PTUN yang dikeluarkan pada tanggal 27 Juni 2023 lalu, telah menimbulkan kekhawatiran di Kota Baubau, Senin 03 Juni 2033.
Menyikapi situasi ini, Roni Muchtar melalui Penasehat Hukumnya, Apriluddin, mengambil sikap. Mereka berpendapat bahwa putusan PTUN Kendari tidak perlu diperdebatkan lebih lanjut, melainkan harus dilaksanakan sesuai dengan keputusan hakim PTUN Kendari.
“Kita tidak boleh menciptakan opini yang menyesatkan bahwa putusan ini adalah putusan sela. Jika kita membaca putusan tersebut dari awal hingga akhir, tidak ada satu pun frasa yang menyatakan bahwa putusan ini adalah putusan sela,” tegas Apriluddin.
Mereka menjelaskan bahwa putusan PTUN Kendari dengan nomor 30/PEN/2023/PTUN.KDI memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan berlaku secara umum bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan surat keputusan yang menjadi objek sengketa.
“Putusan PTUN Kendari yang kami miliki saat ini tidak perlu dipertentangkan lagi. Putusan tersebut telah bersifat final dan mengikat bagi semua pihak yang terlibat, baik Walikota Baubau sebagai tergugat maupun Roni Muchtar sebagai penggugat,” tambahnya.
Sebelumnya, Kabag Hukum Pemerintah Kota Baubau, DR Hamsah, dalam sebuah pernyataan menjelaskan bahwa PTUN Kendari sedang memproses perkara dengan nomor 30/G/2023/PTUN-Kdi antara Roni Muchtar sebagai penggugat dan Walikota Baubau sebagai tergugat. Sampai saat ini, belum ada putusan PTUN Kendari terkait pemecatan Roni Muchtar melalui Surat Keputusan (SK) Walikota Baubau nomor 101/I/2023.
“Pada tanggal 27 Juni 2023, PTUN mengeluarkan putusan sela sebagai tanggapan terhadap permohonan penundaan pelaksanaan SK Pemberhentian Dr. Roni Muchtar, M.Pd. Putusan tersebut mengabulkan penundaan tersebut hingga ada putusan akhir yang mengubah keputusan tersebut. Permohonan penundaan oleh Dr. Roni Muchtar, M.Pd dipertimbangkan oleh Hakim PTUN tanpa mempertimbangkan substansi permasalahan pemberhentian karena persidangan belum mencapai tahap tersebut. Pertimbangan hakim PTUN terkait penundaan lebih didasarkan pada pemenuhan syarat-syarat penundaan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,” jelasnya.
Namun demikian, Hamsah menegaskan bahwa penerimaan permohonan penundaan SK Pemberhentian Dr. Roni Muchtar, M.Pd tidak berarti bahwa SK tersebut tidak sah dan tidak mengikat. SK tersebut tetap memiliki kekuatan hukum yang sah dan mengikat selama belum dibatalkan atau dicabut, baik oleh Pejabat yang mengeluarkannya maupun melalui putusan pengadilan.
“Putusan sela PTUN hanya berlaku terkait penundaan (schorsing), yang berarti SK tetap diakui secara hukum tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk tindakan hukum apapun,” pungkas Hamsah. (Adm)